• +6281216049842

SIAPAKAH YANG PONA?

WIB. Diakses: 558x.

siapakah-yang-pona-

Generasi zaman now  meniscayakan penggunaan aneka jenis alat komunikasi beragam. Beragam fasilitas disiapkan sebagai kebutuhan para penggunanya untuk berjejaring melalui  media sosial terkoneksi internet. Segala informasi tentang kehidupan pun  tercipta dan diperbincangkan netizen kapan dan di mana pun  berada. Kecenderungan penyampai dan penerima pesan tidak lagi memiliki ketergantungan saling pengaruh memengaruh, melainkan penggguna medialah yang menentukan penerimaan suatu pesan.

Generasi zaman old yang pada umumnya masih gagap teknologi ‘Gaptek’,  atau istilah tepatnya adalah PONA (person of no account) diharuskan berpacu dalam ‘frekuensi’ yang sama,  memahami kemajuan telekomunikasi, mengejar ketertinggalan para digma interkonektif dalam semua aspek kehidupan. Berlomba-lomba memiliki virtual account yang  terus meningkat seiring perkembangan. Pengendali informasi mengisyaratkan pengguna (user)  menciptakan identitas virtual yang nyaris tanpa batas. Bisa saja setiap individu memiliki virtual account hingga belasan di beberapa media sosial.

Pengguna media sosial melakukan interaksi online dengan mengurangi jatah interaksi fisik (offline). Terlebih pesatnya konvergen di media yang murah dan mudah, menjadikan penggunanya semakin ‘termanjakan’ hingga mencapai titik ‘candu’ pada fasilitas berjejaring di cyberspace. Apakah kemudian, media sosial sebagai bagian yang tidak terpisahkan bagi generasi zaman now akan menyebabkan prosentase interaksi yang ‘antipati sosial’? jawabanya ada pada diri kita masing-masing yang harus berpikir sebijak mungkin. karena, media sosial hanyalah barang mati yang tercipta sebagai bagian kreatifitas manusia. Dengan segala dampak positif dan negative yang mengirinya.

Informasi umpan-balik antar masyarakat dunia maya yang terjadi dalam interaktif komunikasi virtual communities di grup-grup media sosial, sebenarnya menyisakan ambigu yang dilematis. Banjirnya informasi yang ‘tidak penting’ hanya mengotori, memberatkan laman yang ada di media sosial. Tanpa memikirkan solusi tepat untuk mengatasi problem tersebut. Bisa jadi, cara yang saya lakukan dengan mendelete informasi yang negative ‘hoaks’, juga dilakukan oleh para user lainnya. Atau bisa jadi informasi yang masih belum diketahui kebenarannya itu akan di share pada virtual communities lain.

Keseimbangan interaksi online-offline  tidak bisa saya prosentasekan secara tepat. Kecanduan telekomunikasi menjadikan kualitas hidup relatif ‘terlepas’ dari identitas diri yang sesungguhnya. Cara berpikir, bertindak dan menyikapi persoalan harian cenderung ‘selesai di dunia maya’. Asumsi saya tentang apakah kita sudah ‘PONA’, bagi beberapa orang di antara kita, mungkin saja benar  Bahwa seberapa besar pemahaman terhadap perkembangan telekomunikasi tetap menjadikan kita belum sepenuhnya menjadi personal yang memenuhi semua virtual account yang tersedia di media-media sosial. Sebagaimana salah satu pakar media (Kaplan.2014) menyebut, tidak mungkin semua pemilik ‘rumah’ media sosial mempergunakan semua media sosial yang diikuti dalam kesehariannya.

 

Generasi PONA yang dinamis

Realitas masyarakat era milenial dipenuhi dengan tukar menukar informasi yang sulit dikendalikan. Semua fasilitas online berjejaring internet akan menumpahruahkan alat-alat komunikasi dengan fasilitas inovatif yang dinamis memenuhi kebutuhan manusia. Apakah semua kebutuhan manusia akan ‘tercukupi’ melalui bantuan jaringan internet?.

Generasi yang PONA, tidak sepenuhnya mengalami ketertinggalan. Ketertinggalan mempergunakan alat komunikasi yang canggih dan terbaru, tidak menjadikan seseorang terbatasi kreatifitasnya. Kita masih bisa menjalani dan memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan cara offline, dengan ketidaktergantungan pada jaringan internet sepenuhnya. Karena aktivitas era milenial menjadikan generasi yang selalu online hingga terjebak ke dalam ‘candu’ media. Maka, generasi yang masih berada pada frekuensi yang PONA, justru memiliki kesempatan menjadi generasi yang dinamis, menyeimbangkan kebutuhan sehari-hari secara normal. Dengan berinteraksi fisik sewajarnya seperti masa-masa generasi masa lalu sebelum terciptanya alat komunikasi online. Setidaknya, ada dua hal yang perlu dilakukan bagi kita, yang berada dalam kategori PONA, yaitu:

Pertama; tidak antipati ‘media sosial’. Dengan memperhatikan dan mengikuti perkembangan alat komunikasi kita tetap bisa nyaman dengan tradisi generasi yang ‘candu media’. Sehingga, kita tetap bisa mengarahkan generasi zaman now dengan dampak-dampak negatif yang tidak seharusnya dilakukan pengguna. Semua jenis media sosial yang berkembang, selalu kita pelajari, tanpa kita harus terlibat aktif ke dalam media sosial tersebut. Karena satu media sosial dengan lainnya justru saling mengintegrasikan identitas sosial yang ambigu. Terkadang, candu media tidak menyadari akan kecanduan dirinya pada medsos, karena telah terlena dengan fasilitas materi yang ‘memuaskan’ kesenangan sesaat. Sebut saja, remaja yang gandrung dengan kebutuhan ‘game online’ saja harus berperang dengan jaringan data internet yang limited. Karena itu, para remaja selalu meramaikan ruang-ruang di mana tersedia fasilitas internet gratis untuk berlama-lama memainkan game online  kesukaan mereka. Generasi antipati ‘media sosial’, nyaris tidak mengetahui kecanduan remaja jika kita tidak mendalami dan menyelaminya.  Agar kita tahu cara mengarahkan remaja agar pelan namun pasti, tidak lagi ‘candu media’

Kedua; tidak antipati ‘sosial’.Generasi yang PONA memang bisa dianggap sirna di dunia maya, karena tidak memiliki indentitas di dunia maya. Disiapkannya media-media komunikasi memang untuk tidak disia-sia. Melainkan hanya bisa dipilah-pilah, agar kita tidak candu media. Agar kita tidak terlepas dari indentitas diri manusia sebagai ciptaan yang seharusnya berinteraksi sosial, bukan antipasti sosial. Kesempatan generasi yang PONA, untuk mengembalikan para pecandu media yang nyaris ‘antipati sosial’, merupakan pekerjaan rumah yang cukup berat. Mereka generasi pecandu game online harus diselamatkan, agar pemenuhan kebutuhan interaksi sosial mereka tetap berjalan sebagaimana mestinya.  Agar generasi masa depan tetap menjadi generasi yang berkeadaban, namun tetap enjoy dengan inovasi-inovasi telekomunikasi. Bahwa peran generasi PONA yang dinamis, sangat berarti bagi generasi yang sedang ’candu virtual’.

*)Farhan

Mahasiswa Doktoral konsentrasi Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta