• +6281216049842

MENERTIBKAN BAHASA KHALAYAK

WIB. Diakses: 1.060x.

menertibkan-bahasa-khalayak

Judul buku  : Polisi Bahasa: Tentang Peran Penutur yang Absen

Penulis        : Eko Endarmoko

Penerbit      : Buku KOMPAS

Cetakan      : 2019

Tebal          : xviii + 236 halaman

 

Judul di atas dipilih untuk menyoal judul buku ini. Kehadiran polisi bahasa seakan-akan bisa meniadakan peran penutur. Padahal, siapapun bisa berbicara tanpa harus dibebani begitu banyak aturan yang menghambat komunikasi. Namun, ternyata judul itu adalah salah satu tulisan yang dijadikan tajuk buku untuk mewakili seluruh kolom lain terkait pernak-pernik kebahasaaan. Kepiawaian penulis merangkai kata akan membuat pembaca hanyut dan sesekali terkejut. Ternyata, judul tak bisa sepenuhnya menghadirkan serakan tulisan untuk bisa terangkumi.

Mengingat dalam pengantar pengarang memberitahu pembaca untuk bisa memulai pembacaan suka-suka, dari depan atau belakang, saya memeriksa tulisan bertajuk “Polisi Bahasa”. Maklum, sebagai orang yang seringkali mempersoalkan ketertiban berbahasa di banyak kesempatan, saya seperti disudutkan sebagai pesakitan. Saya menyergah penggunaan kata presenter, yang tak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tapi karena sering digunakan di media televisi, khalayak mafhum. Lalu, apakah pembiaran seperti ini menjadikan bahasa kita bisa setanding dengan bahasa lain di dunia yang jauh lebih mapan, seperti Bahasa Inggris dan Arab?

Menurut Eko, tanpa kekangan yang keterlaluan, kian banyak penulis tidak menemui masalah berarti dalam menulis, dalam berbahasa. Atau dilihat dari sudut lain, para polisi bahasa tampaknya makin berkekurangan celah untuk mempermalukan penulis karena “kesalahan” berbahasa. Tentu, kenyataan ini akan menyuburkan dunia kepenulisan, karena siapapun bisa menyusun kalimat agar pembaca bisa mendarasnya dengan nikmat. Namun, setelah ditelusuri, polisi bahasa yang dimaksudkan di sini lebih pada sosok yang ceriwis soal teknis. Misalnya, apakah di kata depan dan imbuhan telah ditulis secara betul atau tidak.

Artinya, ketika orang ramai telah selesai dengan hal mendasar dalam berbahasa, seperti tata cara penulisan kata atau bangun kalimat, perhatian kini beralih pada dua pokok: soal-soal yang berkenaan dengan makna dan konteks (baca: semantik) serta kehendak mendapatkan pijakan yang lebih kukuh di dalam proses menulis. Dari pernyataan ini, sejatinya Eko tidak sama sekali meremehkan pentingnya tata bahasa dalam penulisan, namun hal kecil tidak menghalang warga untuk menekuni dunia literasi. Tentu, setelah urusan remeh-temeh selesai, mereka yang ingin menyampaikan gagasan harus menimbang isu yang lebih berat, yang tentu akan jauh lebih sulit.

Selanjutnya, kita akan bertamasya untuk menikmati aneka ragam tema dan kisah. Saya menyelesaikan pendarasan buku ini dalam perjalanan dengan kereta api dari Yogyakarta ke Probolinggo dan sempat terhenti ketika menikmati bakso di gerbong restorasi. Salah satu yang menempati senarai teratas yang paling mengasyikkan adalah catatan berjudul “Relik” (hlm. 215). Tulisan ini menyoal sebuah terjemahan novel yang tak ringkas: Ia mengalami rasa sakit melahirkan anak selama tiga hari tiga malam. Padahal, kalimat yang dicetak miring ini bisa diganti dengan meroyan. Ini membuktikan lema kita sejatinya kaya dan ringkas, setara dengan bahasa Inggris dan Arab. Contoh kalimat lain adalah lelaki yang terpukul itu menjerit, seolah-olah telah diberi cap dengan besi, kemudian jatuh berdebum di bumi. Sebenarnya kata selar bisa menggambarkan pengecapan dengan besi itu sehingga terjemahan tak perlu berpanjang-panjang dan seakan-akan kita tak mempunyai pengalaman serupa dan bahasa yang ringkas untuk melukiskan kejadian. Tentu, produksi kata ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi yang telah dipraktikkan dalam kurun yang lama, sehingga ada kata khusus singkat dibuat. Malangnya, dua kata ini tidak lagi diingat.

Hal lain yang patut ditimbang adalah keengganan orang banyak yang tidak mau membiasakan kata serapan yang telah ditetapkan, sehingga tetap menggunakan bahasa asal, misalnya cartridge, alih-alih selongsong. Padahal kata terakhir ini begitu akrab dengan kita karena sering digunakan dalam bahasa lisan dan tulisan, meskipun kerangkali dikaitkan dengan peluru pistol. Demikian pula, penyebutan database lebih sering didengar, dibandingkan dengan pangkalan data, padahal kata padanan base sering kita gunakan terkait militer dan tentu saja tempat satu kelompok berkumpul, misalnya pangkalan ojek.  Akhirnya, kata cartridge identik dengan tempat isi tinta pencetak (printer).

Ketika pengguna bahasa dibiarkan, yang disebut dengan peran penutur yang absen, maka mereka akan mengungkapkan sesuatu secara sewenang-wenang. Memang, pilihan kata itu bersifat arbitrer, tetapi setelah kesepakatan diraih, maka pemakai harus mengikuti aturan agar pertukaran pesan tidak bertabrakan. Jadi, polisi bahasa tetap diperlukan, meskipun buku ini tampak uring-uringan dengan kehadirannya, tetapi justru banyak catatan yang ingin menertibkan silang-sengkarut yang acapkali ditemukan dalam penggunaan bahasa tulisan dan lisan.

Untuk itu, Eko menegaskan bahwa tugas pemerhati adalah mendapatkan pijakan yang lebih kukuh di dalam proses menulis. Meskipun, harus diakui bahwa bahasa itu bukan ilmu pasti, yang menyebabkan perbedaan mazhab mungkin. Misalnya, kata merubah yang sering dikritik itu memang sering digunakan. Namun demikian, keadaan ini tidak mengubah statusnya yang keliru menjadi benar. Namun demikian, penulis Tesaurus Bahasa Indonesia ini perlu melirik pengetahuan jiran bahwa kata dasar ubah bisa juga rubah, sehingga merubah bukan bentukan salah kaprah. Tentu, kepiawaian berkomunikasi tidak melulu menjadi kapling pembelajar linguistik. Dewi Lestari dan Nirwan Ahmad Arsuka adalah contoh pengguna bahasa yang moncer. Dengan membaca buku ini, pembaca mungkin bisa mengikuti Dewi dan Nirwan.

 

Ahmad Sahidah [Penulis buku Kata yang Rapuh (2019) dan Dosen Pascasarjana Universitas Nurul Jadid Paiton]