• +6281216049842

PUSTAKAWAN LIPI DALAM CENGKRAMAN BANALITAS KEJAHATAN

WIB. Diakses: 427x.

pustakawan-lipi-dalam-cengkraman-banalitas-kejahatan

"Saya ini pustakawan dan orang bawahan, saya melakukan itu karena ada atasan saya yang memerintahkan".

Kalimat itu berasal dari salah satu pustakawan yang terlibat dalam proses lelang sehingga 32 ribu tesis dan disertasi itu dikiloin sebanyak dua truk yang dikirimkan ke arah Pamulang, Tangerang. Salah satu pustakawan LIPI lainnya mengatakan bahwasanya hasil dari ngiloin tesis dan disertasi tersebut kurang lebih uang yang didapatkan adalah Rp. 20 juta rupiah.

Dari mereka saya mengetahui bahwasanya profesi mereka juga merasa dilecehkan dengan adanya kebijakan melakukan pembersihan atas dokumentasi ilmiah, baik berupa tesis dan disertasi, yang dilakukan tidak dengan cara yang benar. Bahkan, ada seorang pustakawan lain yang berusaha untuk tetap mempertahankan koleksi jurnal-jurnal ini agar tidak diangkut lagi untuk dilelang dengan cara dikiloin. Koleksi jurnal-jurnal yang berusia 20 tahunan ke bawah ini baginya masih dibutuhkan oleh para pengunjung. Ia mengaku, sikap protesnya sekedar menjadi angin lalu saja apabila kebijakan telah ditetapkan.

Namun, karena adanya protes dari status facebook dan media massa dan online, ribuan koleksi jurnal tersebut masih tergeletak di lantai satu gedung PDII. Ada sebagian kecil memang ada bentuk pdf-nya, namun masih banyak tidak ada karena terbit di bawah tahun 1990-an. Jurnal-jurnal itu sangat berharga dan penting. Dari jurnal itulah kita tidak hanya belajar pentingnya arti sebuah kerja menulis, juga merekam mengenai dinamika dan potret Indonesia dari beragam latarbelakang.

Kondisi tersebut mengingatkan saya kepada Adolf Eichmann, mantan letnan kolonel SS Nazi yang diajukan ke pengadilan Israel sebagai yang bertanggung jawab secara operasional mendeportasi 6 juta Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi seluruh Eropa, termasuk Auschwitz.Selama persidangan yang memakan waktu 16 minggu itu, Hannah Arend dengan cermat mengikuti jalannya persidangan, lalu mengirim seri tulisan untuk majalah The New Yorker. Laporan itu kemudian dibukukan dengan judul "Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil" (1963).

Setelah mencermati secara mendalam- jawaban-jawaban, ekspresi, tingkah laku Eichmann, Arendt menyimpulkan bahwa sesungguhnya ia bukan monster. Ia seorang yang normal. Berbeda jauh dari gambaran seorang pembunuh yang haus darah. Bahkan, setelah mempelajari masa lalunya, ia melihat sebenarnya Eichmann memiliki simpati kepada Yahudi. Seorang pendeta yang tiap hari dikirim ke sel Eichmann selama persidangan, menurut Arendt, berkesimpulan Eichmann bukan seorang anti-semitik fanatik. Ia juga bukan manusia jahat yang timbul dari dirinya sendiri.

Bagi Arendt, kondisi totaliter membuat Eichmann lumpuh logika. Ia melakukan upaya kompromistis terhadap kenyataan, yang membuatnya kehilangan kemampuan berpikir kritis, sehingga tidak berani mengambil keputusan menurut nurani. Ia patuh menjalankan hukum secara dangkal.

Dengan kata lain, kebijakan reorganisasi LIPI dengan melakukan redistribusi para pegawai LIPI ke dalam kawasan membuat gedung PDII menjadi tempat untuk menampung mereka. Sementara kapasitas gedung itu kebanyakan adalah untuk koleksi buku, jurnal, dokumen, dan disertasi. Akibat kebijakan dari kepala LIPI kepada bawahannya, membuat tesis dan disertasi kemudian harus dikiloin, yang kemudian menunggu koleksi jurnal-jurnal lainnya yang menumpuk di lantai 1 untuk menjadi korban berikutnya.

Para pustakawan melakukan itu bukan karena kesadarannya, melainkan karena perintah dari atasannya, membuatnya merasa malu kepada profesinya sendiri. Persis di sinilah sejarah PDII dan fungsinya menjadi sangat direndahkan. Lebih buruknya lagi, itu terjadi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang selalu memegang komitmen kebenaran atas landasan nilai yang justru dilakukan di bawah kepemimpinan totaliter. Ironisnya, di tengah situasi ini masih ada saja peneliti yang membelanya. Yang menyedihkan itu salah satunya adalah teman terdekat saya.

Wahyudi Akmaliah

Peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI

Tulisan ini pernah dipublikasikan di laman facebook Wahyudi Akmaliah pada tanggal 15 maret 2019, dimuat kembali sebagai bahan edukasi.