• +6281216049842

MEMORI DAN TEKNOLOGI DIGITAL: SANJAKALA BUKU CETAK?

WIB. Diakses: 435x.

memori-dan-teknologi-digital-sanjakala-buku-cetak-

Buku merupakan bentuk fisik yang pertama kali, suatu kumpulan kertas yang dijilid bersama dan ditulis  dengan tinta. Ini merupakan bukti fisik yang memungkinkan untuk tinggal sementara bagi memori yang lelah. Kertas  dan tinta dapat dipindahkan ke bahan lain, tetapi kita tetap memperlakukannya sebagai wadah secara fisik. Pada tingkatan yang lain, sistem penulisan dapat dipandang sebagai sistem sandi (encoding). Hal ini sudah umum  dikenal namun bukan merupakan satu-satunya bentuk rekaman memori manusia. Di dalam ilmu matematika, berkas seringkali ditemukan dalam bentuk grafis yang berbeda (misalnya, sistem kordinat), seni musik memiliki sistem grafis tersendiri, demikian pula seni pertunjukan. Semua sistem tersebut berbentuk rekaman memori. Bila kita lihat dari sudut pandang psikologi, kita dapat melihat proses ini layaknya proses penciptaan memori manusia (penyusunan dari tingkat pemaknaan ke emosi dan pemahaman).

Sejak dulu, bukutelah membuktikan fungsinya yang sangat efektif sebagai memori manusia dan pranata ilmu pengetahuan. Buku tidak hanya menjadi wadah untuk menampilkan dan memelihara warisan peradaban bangsa, tetapi juga alat ampuh untuk menyebarkan budidaya tersebut kepada masyarakat. Di samping sebagai sarana informasi, tidak kalah pentingnya pula peranan buku sebagai sarana komunikasi. Melalui buku, orang dapat mengkomunikasikan dirinya dengan orang lain yang tidak terbatas jarak dan waktunya. Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa buku adalah sebuah dunia ide, yang mampu merangkum dan mengabadikan pengalaman manusiawi untuk melindungi  batas-batas sejarah, di mana gagasan, pemikiran, penemuan, serta perasaan manusia dikomunikasikan  dengan manusia lain, di tempat lain dan di waktu yang lain. Dari buku-buku itulah cakrawala pengetahuan kita akan bertambah. Kita tahu bahwa kini mobilitas psikis lebih dihargai daripada mobilitas geografis dan mobilitas sosial karena orang yang mempunyai mobilitas psikis yang tinggi akan menjadi orang yang dinamis, hidup, dan tahu keadaan.

Salah satu isi buku terpenting sejak semula adalah sebagi wadah ajaran-ajaran suci, sebagai buku suci. Semua agama besar mentradisikan ajaran-ajaran mereka melalui buku. Agama-agama Abraham: Yahudi, Kristen dan Islam disebut agama buku karena mereka semua memiliki Kitab Suci sebagai dasar identitas religius mereka. Misalnya saja, hanya karena Kitab Suci umat Islam, Al-Qur’an, begitu banyak bangsa, golongan etnik, dan budaya: orang Arab, Beber, Hamid, Turki, Slavia Selatan (Bosnia), Kaukasus, Persia, Asia Tengah, Cina, India, sampai ke bangsa-bangsa Melayu menyatu dalam sebuah komunitas iman yang bukan hanya seiman, melainkan juga mampu untuk mudah berkomunikasi satu sama lain.

Ditemukannya buku menjadi langkah penting dalam perkembangan cara manusia berpikir, khususnya dalam  cara ia memahami  diri dan realitas seluruhnya. Dalam budaya-budaya nir-buku, warisan rohani masyarakat  dipelihara dan diteruskan secara lisan. Sementara itu, dengan munculnya tradisi tulis dengan media buku, sistem pewarisan ilmu pengetahuan berlangsung di lingkungan masyarakat. Dengan kata lain, tanpa media tulis dan tanpa buku yang memungkinkan tulisan dalam komunitas besar disatukan dan disimpan, pengetahuan abstrak universal-struktural tidak mungkin berkembang. Ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya, sebagai usaha yang secara sistematis mengetahui struktur, kaitan-kaitan, dan hukum-hukum yang mendasari peristiwa-peristiwa konkrit singular, tidak mungkin ada tanpa buku. Buku adalah prasyarat mutlak bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam semua demensi.

Penemuan mesin cetak oleh Johannes von Gutenberg dalam abad ke-15 memungkinkan demokratisasi kemampuan memiliki buku sekaligus kemampuan untuk membaca buku. Mesin cetak membuat produksi buku menjadi murah. Mulai saat itu, penerbitan buku terus menerus meluas, begitu pula brosur dan leaflet  dan koran sejak abad ke-17. Karena itu, kemampuan untuk membaca dan untuk mencari informasi tentang apa saja yang ada dalam tulisan tidak lagi dapat dibatasi pada kalangan elite, melainkan menjadi milik semua.

Masalah yang kemudian muncul adalah sensor dan pelarangan buku. Para penguasa segala zaman peka terhadap kekuasaan buku dan oleh karena itu, sesudah buku menjadi milik masyarakat, berusaha untuk membatasi penggunaannya. Di sini kebebasan untuk membaca apa yang dikehendaki berhadapan dengan kepentingan  pengusa untuk mengontrol bacaan rakyatnya. Kebebasan dalam bidang  perbukuan memang  dapat dirasakan sebagai ancaman. Di Indonesia, secara umum ada 5 sebab mengapa buku dilarang beredar. Adapun alasan pelarangan ialah: alasan politik, alasan agama, alasan ras, alasan pornografi, dan alasan penerbitan dalam aksara asing.

Kalau kita berpijak pada Pasal 5 Pernyataan PBB, kebebasan untuk  menyebarkan dan mencari informasi termasuk salah satu hak asasi manusia. Dasarnya adalah paham kedewasaan warga masyarakat. Bahwa bacaan anak dikontrol oleh orang tua dapat dimengerti, tetapi apabila anak telah menjadi dewasa, ia boleh menentukan sendiri apa yang ingin dibaca. Tugas Negara adalah menyelenggarakan kesejahteraan umum dan bukan kesejahteraan masing-masing orang, maka sejauh seseorang tidak melanggar undang-undang, bukan urusan Negara untuk menentukan apa yang dibacanya.

Setelah budaya buku meluas, yang perlu disadari adalah sang kesadaran atas makna  minat membaca  itu sendiri. Memang, buku merupakan suatu komponen paling penting dalam sikap dan perilaku  membaca. Namun, yang perlu dibaca sebenarnya bukan sekadar aksara, angka, atau visualisasi lain yang tercetak di media  buku.

Teknologi masa kini memungkinkan kita juga bisa membaca teks yang muncul di layar televisi atau komputer. Media kertas terbukti bisa diganti media elektronika. Televisi atau komputer dapat menyajikan gambar,  images.  Namun, images  tidak membebaskan, melainkan membelenggu fantasi.  Images tidak memberikan ruang bagi daya imajinasi (imagination) karena seluruhnya mendeterminasikan persepsi. Tentu saja, kita tidak perlu memusuhi televisi. Televisi jelas ada jasanya. Akan tetapi, kemanusiaan kita berkembang karena membaca buku, bukan karena menonton televisi. Karena itu tidak berlebihan mengatakan bahwa pemanusiaan buku bukan hanya membukukan manusia, melainkan meningkatkan kemanusiaannya. Franznis-Suseno, dalam “Memanusiakan Buku – Membukukan Manusia”(1997) berharap agar generasi televisi dan  instant satisfaction  sekarang tetap senang membaca buku supaya dapat mengalami keasyikan dan kebebasan rohani yang menjadi ganjarannya. Lagi pula, sebenarnya yang bisa dan perlu dibaca memang buka hanya buku  saja, melainkan praktis segenap aspek kehidupan yang bisa diungkap oleh daya pengideraan insan manusia.

 

*) Achmad Fawaid

Bukan Pembaca Buku Serius, Mahasiswa Doktoral FIB UGM  Yogyakarta