Berbahagia anjing karena mencintai ashabul kahfi,
bagaimana mungkin aku celaka karena mencintai keluarga Nabi[1]
Selama ini ada anggapan umum yang diterima luas oleh masyarakat dunia, bahwa dalam menjalani hidup seseorang perlu mengerahkan seluruh tenaganya untuk melaju lebih cepat demi mencapai target dan hasil semaksimal mungkin. Dalam idiom barat kita mengenal the early bird gets the worm arti bebasnya adalah siapa cepat dia dapat, demi menguras keuntungan sebanyak-banyaknya sehingga dari konsep berfikir demikian seorang individu dapat dengan mudah meraih ketenaran, dikenal banyak orang, disanjung-sanjung oleh mereka yang kebetulan memiliki kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ambisi menguras. Menguras, begitu merona untuk diperbincangkan dalam tulisan ini di hari nan fitri sebagai sindiran terhadap gaya hidup manusia abad milenial disebabkan kekhawatiran akan hari esok. Namanya juga menguras, maka segala macam cara akan dilakukannya oleh penguras agar dapat menimbun untuk bekal ketidakpastian hari esok.
Hasrat menguras telah menjadi penyakit utama karena manusia sungguh tidak tahu di mana batas keinginan itu. Yang hendak meraihnya akan terus bertarung hingga hancur. Yang sanggup melepaskan-legowo[2] malah akan mendapatkan semuanya, dan yang biasa terjadi adalah mereka yang tidak menginginkan malah diberi yang terbaik. Pertanyaannya siapakah mereka? adakah mereka menjalani hidup penuh kebahagiaan dan ketenteraman dengan sikap legowonya di tengah-tengah derasnya terjangan dunia yang berlari penuh ketergesa-gesaan dan menyebabkan ketidakberaturan.
Di samping itu, perubahan tatanan kehidupan sosial semakin pesat tak terbendung. Jamak terjadi persaingan individu satu dengan yang lainnya berlandaskan potensi kecemburuan, berduyun-duyun ingin selalu di depan dalam segala hal dari urusan trend gengsi busana, pendidikan, harta benda, bahkan jodoh atau pernikahan, semua demi persaingan mempertontonkan dan menonjolkan atas nama gengsi baik di kota maupun di desa tak ada beda, pada akhirnya akan berujar, lihatlah Aku selalu di depan. Tak heran manusia milenial mudah mengalami sakit mental sebab mengesampingkan proses hingga tidak merasakan lelapnya tidur, terkungkung oleh ketakutan, takut tak kebagian. Manusia milenial kini enggan belajar berproses, enggan bertadabbur bagaimana padi dengan tenangnya melalui tahapan-tahapan proses menjadi nasi[3]. Itu terjadi karena hasrat persaingan dan ambisi antar individu semakin menggebu-gebu, dengan begitu sebagai dampak nyata akan terbentuk manusia-manusia yang tenggelam dalam kubangan materi.
(ingatlah) tatkala Para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: Wahai Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada Kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi Kami petunjuk yang lurus dalam urusan Kami (ini).
(Rintihan pemuda Ashabul Kahfi & Anjing Qitmir-arraqiim, QS. 18:10)
Sebagaimana telah disinggung di atas, siapakah mereka yang tidak menginginkan malah diberi yang terbaik. Mereka yang tidak tergiur oleh fatamorgana nun jauh di sana - Kang Santri. Bahwa Kang Santri merupakan salah satu dari anggota sekelompok pemuda beriman yang sempurna dalam hal kekuatan dan semangatnya, jumlah para pemuda itu kurang dari sepuluh. Para pemuda tersebut ingin berlindung mengasingkan diri ke dalam gua untuk menghindar dari fitnah Raja dan kaumnya, dan mengalami penindasan agama[4]. Kang Santri merupakan representasi Ashabul Kahfi milenial. penentang tatanan dunia modern yang begitu serakah, dzolim, menindas, bahkan secara tersirat telah merampas keimanan manusia dengan penuh fitnah dan ancaman. Kang Santri ada di depan sebagai Ashabul Kahfi milenial, tentu siapa saja yang Santri ia merupakan anggota para pemuda Ashabul Kahfi milenial. Mereka pergi berlindung ke dalam Gua besar nan teduh menyelamatkan – Gua merupakan tamsil Pesantren. Uniknya, Kang Santri merupakan anak kampung kota metropolitan dengan keseharian lingkungannya berada dalam aniaya kaum hedonis. Karena kesalahan dalam memilih lingkungan pergaulan pada akhirnya membentuk manusia menjadi putih atau hitam[5].
Berstatus anak hulubalang akil baligh, acap kali hati yang masygul selalu mengusiknya sebelum melaksanakan perantauan manjadi Santri. Dengan bermodal nekat dan percaya diri berkelana ia dengan misi Ndeso[6] tinggal di gua bersesunyi demi meraih ketenangan jiwa, pencerahan ilmu, dan kebijaksanaan dari para Bijak Bestari. Di dalam gua ia menemukan dunia baru penuh kegemerlapan ilmu untuk meraih kesejatian diri, hingga jadilah ia Kang Santri.
Nurul Jadid merupakan gua baginya, sekaligus miniatur Nusantara tempat menempa dan mendewasakan diri melalui berbagai macam pelajaran (Ilm Nafi). Terdapat keanekaragaman karakter pemuda dari berbagai macam kalangan, daerah, budaya, dan adat berpadu dalam naungan gua melepaskan jubah identitas latar belakang asalnya untuk sebuah pembaharuan menjadi Santri dengan dipandu oleh para Bijak Bestari melalui untaian mutiara kebijaksanaan dan wejangan-wejangan siang malam tiada henti. Semua itu demi para Santri Ashabul Kahfi milenial terkasih. Di saat itulah para Santri melupakan nada-nada perpisahannya dengan kelamnya masa lalu, semua itu merupakan jasa dekapan hangat Sang Guru, Maulana Zuhri[7]. Tak dapat dipungkiri, sudah sekian lama para Santri bermetamorfosa mencita-citakan diri menjadi generasi rabbani, tinggal menunggu waktu[8].
Keheningan gua itu sungguh terasa semakin terasa adanya di saat tiba bulan Ramadan, ada beberapa rutinitas selama menyambut bulan suci di dalam gua. Dari membaca surat cintaNya dengan syahdu di tiap sudut-sudut kamar atau surau yang tentu menghadirkan sejuta gelora jiwa, berziarah ke makam para masyayikh (astah) meluapkan sungai-sungai air mata rindu tak berkesudahan padanya menjadi kebiasaan para Santri, hingga momen yang begitu renyah untuk dialami selama Ramadan adalah pelaksanaan ngaji berbagai macam kitab karya ulama klasik dari pagi hingga sore sesuai tingkat pendidikan dan asrama para Santri yang diampu (Muroq) langsung oleh keluarga Guru baik Kiai maupun Gus (putra Kiai) di beberapa surau berlangsung selama lebih dua pekan. Merekalah para Bijak Bestari di gua Nurul Jadid. Beberapa buah tangan intelektual seusai menghadiri majlis ilmu di antaranya pemahaman bahwa ibadah merupakan puncak dari merendahkan diri dan menghinakan diri di hadapan Tuhan, dan bahwa dengan berIslamnya seseorang maka ia tidak akan mengalami krisis eksistensi dalam kehidupan karena telah terselimut oleh sifat Syukur. dendang salah satu Guru di kala senja[9].
Rutinitas tersebut hanya berlangsung selama dua pekan dan berakhir dengan pulangnya para Santri terutama siswa/siswi berbekal pengarahan pengasuh langsung disampaikan oleh Maulana Zuhri berupa pesan-pesan moral yang perlu dipersiapkan ketika sudah menjalin harmoni di tengah bisingnya masyarakat setelah begitu lama mereka dalam keheningan. Hanya beberapa pengurus yang masih di pesantren bahkan ada sebagian yang berminat berlebaran, berfitri atau dalam rangka kembali fitri di gua itu. Para pengurus inilah Kang Santri Ashabul Kahfi revolusioner, abdi para Bijak Bestari dalam gua yang suatu saat nanti wajib ain untuk pulang kampung, Bangun dari tidur intelektualnya yang sudah berlangsung selama beberapa tahun dan siap bergaul kembali dengan umatnya bahkan dapat merubah kacaunya tatanan dunia sesuai dengan tuntunan Kanjeng Nabi yang telah diajarkan oleh Guru Bijak Bestari Maulana Zuhri. masih terngiang dalam ingatan di hari terakhir Ramadan, beberapa Kang Santri menghadiri jamuan makan buka bersama di dhalem Maulana[10]. Sungguh pesona alam raya ini tidak dapat menandingi indahnya romansa murid dan Guru berhimpun dalam satu hidangan, konon senyumannya ibarat transfigurasi alam semesta saat ini. wajar, Guru welas asih[11]. Maulana Ya Maulana….!
Pagi hari nan fitri, Gua Nurul Jadid begitu nampak kemurungannya hanya dihuni oleh segelintir Kang Santri. Udara dingin menyengat hingga ke pori-pori tubuh, jema’ah shalat Ied menit ke menit mulai berdatangan. Shalat Ied tepat di laksanakan pada pukul 06:50 WIB dipimpin oleh pengasuh membacakan lantunan surat Al Ala dan Al Ghasyiyyah lalu khotbah dibacakan oleh kepala pesantren menyampaikan pesan moral kemanusiaan di hari kemenangan.
Kalau seseorang Tanya tentang hamba rendah ini,
Saya hanya biduanNya dalam istanaNya kini.
Hanya biduan istanaNya yakni biduan Maharaja,
Yang melagu laguanNya tentang asmaraNya saja[12].
Demikian, gua secara harfiah merupakan tempat yang begitu kelam, gelap, horor, dan dipenuhi berbagai macam hal buruk. Sebaliknya sejarah tidak dapat memandang sebelah mata betapa gua menjadi tempat berlindung meraih puncak kesejatian diri sebagaimana para jomblowan muda Ashabul Kahfi dan kanjeng Nabi pernah beberapa waktu berada di gua untuk belajar Iqro pada Jibril dan untuk berlindung dari serangan musuh ditemani salah satu sahabatnya tertutup jaring laba-laba, di sisi lain gua merupakan istanaNya. Di tengah runyamnya urusan dunia modern, dunia pesantren merupakan gua yang cukup ideal bagi para pemuda dari berbagai kalangan untuk melindungi diri dari beringasnya tatanan dunia, belajar mengendalikan diri di waktu muda tentu menyimpan kesan istimewa bagi pelakunya supaya nanti di saat telah terbangun dari tidur intelektualnya di dalam gua. Pemuda-Kang Santri Ashabul Kahfi milenial siap membimbing umat menggenggam dunia, sombong pada dunia, bukan untuk di jadikan mempelai rahasia di mahligai hatinya.
Nurul Jadid merupakan gua berkeadaban di ujung timur kota jumud nan primitive, hanya kepada pemuda Ashabul Kahfi berkopyah dan bersarunglah kota tersebut menanti bahkan berpangku tangan pada kesegaran gerakan revolusionernya. Perubahan di ufuk sana sungguh menanti pemuda tersebut bangun dan keluar dari gua, pulang kampung. Santri sudah selayakya menjadi Musleh.
Mevlut Adamim
LPBA PP. Nurul Jadid
[1] Jalaluddin Rakhmat, Doa Bukan Lampu Aladin, Puisi Syaikh Zamakhsyari. 198
[3] Jalaluddin Rumi, Fihi ma Fihi: Mengarungi Samudra Kebijaksanaan, (Yogyakarta: Penerbit forum, 2017). 149
[4] Prof. Muhammad Quraish Shihab. Tafsir Al Misbah
[5] Salah satu kota metropolis di Jawa Timur
[6] Jawa: Menjadi orang desa, tinggal di desa
[7] KH. Zuhri Zaini. Pengasuh Pesantren 2000-sekarang
[8] PP. Nurul Jadid, Paiton-Probolinggo
[9] Kegiatan pesantren di Bulan Ramadan 1439 H