Kekayaan yang disodorkan penulis beraneka ragam. Dari buku ini kita melihat bahwa tradisi Rabu Wekasan di Pulau Tomia berbeda. Penulis menyuguhkan tradisi Mandi Safar. Tradisi itu diikuti hampir seluruh warga desa. Sebermula, setiap warga diminta menggemgam daun sirih di tangan. Kemudian tetua desa mulai merapal doa. Seusai itu mereka bersama menceburkan badan di pantai. Tradisi tolak- balak itu ditulis dengan ciamik oleh penulis. Pengamatan yang dilakukan penulis di Pulau Tomia tak main-main. Penulis menyuguhkan kisah makan-makan. Hanya saja, paparan yang ditulis tak seperti kebanyakan food blogger. Penulis memulai kisahnya dengan kacamata awam. Baik awam secara pengetahuan dan keberanian. Di beberapa cerita penulis awalnya menyantap pangan lokal dengan ragu. Namun berakhir doyan. Cerita itu menyadarkan kita tentang beragamnya pangan-pangan lokal di Indonesia. Setidaknya di Pulau Tomia kita mengenal pangan lokal mulai dari Kasoami hingga Kuho-kuho. Patut disadari buku ini masih terdapat bolong sana-sini. Hanya saja pembaca tak akan kecewa. Banyak kejadian dan kisah-kisah menarik yang tertuang dalam buku ini. Tentu saja penulis tak sekadar menulis keindahan-keindahan saja. Cerita-cerita kesedihan dan kegetiran tak luput dari amatan penulis. Itu sebabnya dari buku ini kita semua belajar bahwa perjalanan bukan hanya tentang langkah kaki.