Melihat latar belakang penyairnya dari pesantren, kita mungkin berpikir karyanya bisa dilabeli “sastra sufi”, sebuah jargon yang diperkenalkan pertama kali, misalnya, oleh Abdul Hadi W.M. saat membaca puisi-puisi Amir Hamzah. Namun, jika membaca secara cermat larik-larik dari puisi Siluet Senja, paham kesatuan mistis konvensional itu ternyata dipertanyakan. Bagi saya, Siluet Senja tidak selalu mengekspresikan persatuan penuh dengan Sang Pencipta, melainkan juga penyangkalan terhadapnya. Penyangkalan ini bahkan muncul lebih tajam dalam puisi “Pagi Ini”, di mana hubungan antara Tuhan dan manusia dibayangkan seperti seorang pendamba yang tak pernah selesai melakukan pencarian: Pagi ini/Ada rasa, duka lara/Ada rasa, sakit membelit/Ada asa yang tak sekadarnya/Ada rindu yang menggebu/Ada rintih yag menggigil/Ada kasih yang tak memilih/Ada mimpi yang tak sampai/Air mata yang merinai/Ada aku yang haus kasih-Mu//